Facebook, sebagai sebuah sarana pada dasarnya mempunyai status awal
netral yaitu halal. Pengguna facebook-lah yang kemudian menjadikannya
berubah ‘status’ menjadi haram atau tetap dalam kehalalannya. Halal
ketika digunakan tetap pada koridor kepatuhan syar’I dengan menjaga
adab-adab dan etika pergaulan. Lalu haram ketika facebook digunakan
untuk memperlancar kemaksiatan serta mendalami hal-hal yang sia-sia
tiada guna. Jadi sampai dititik ini, kembali kepada pelakunya.
Ibaratnya kata orang : The man behind the gun.
A. FILOSOFIS KEHALALAN FACEBOOK
Filosofis
status awal kehalalan facebook sendiri bisa kita yakini dari beberapa
dalil syar’I, diantaranya secara sederhana kami sebutkan :
Pertama : Kaidah “ Al-Aslu fil As’sya’ Mubahah “.
Yaitu
asal (hukum) dari segala sesuatu awalanya adalah boleh. Segala sesuatu
dimuka bumi ini, awalnya memang dijadikan sebagai fasilitas bagi
manusia untuk mengelolanya. Karenanya status awalnya memang boleh,
bahkan memang diarahkan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan
dan melacarkan pekerjaannya. Dalam beberapa ayat diisyaratkan hal
tersebut,
antara lain :
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu “ (QS Al-Baqoroh 29)
“Tidakkah
kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. “ (QS Luqman 20)
Kedua : Hukum Asal Muamalah adalah Boleh
Lebih
mendalam lagi , dalam masalah ‘muamalat’ atau segala hal yang tidak
berkaitan dengan ibadah khusus, semacam : jual beli, transaksi, budaya,
politik, maka berlaku kaidah yang menyatakan : “ Asal dari muamalah,
adat (budaya) adalah halal, hingga datang sebuah dalil yang shohih
(kuat) dan shorih (jelas/tegas) dalam pengharamannya” . Hali ini
berbeda dengan tatacara ibadah, dimana kita tidak boleh bereksperimen
dalam ibadah, hingga ada dalil yang jelas mengaturnya. Kaidah ini
termuat secara lugas dalam kitab I’laam Muwaqiinn karya monumental
Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Nah, dalam kaidah ini posisi facebook jelas
masuk dalam kategori “budaya” atau bahasa yang lebih populernya adalah
: life style. Karenanya, jika ada nash-nash syar’I yang menghantam
banyak aktifitas facebook kita, dengan sendirinya status kehalalannya
layak dipertanyakan ulang.
Ketiga : Riwayat yang Shohih tentang netralitas sebuah sarana
Banyak
dijelaskan dalam riwayat shohih tentang netralitas sebuah ‘sarana’ atau
wasilah. Di dalam Al-Quran saja, ketika menyebut tentang harta selalu
mengarah pada statusnya sebagai sarana. Karenanya banyak ayat AL-Quran
yang mencela orang-orang yg gagal menggunakan hartanya untuk kebaikan,
dan sebaliknya ; memuji mereka yang berhasil mengelola hartanya dengan
baik sesuai aturan agama. Jika mau melihat contoh lebih ekstrim lagi,
di dalam sebuah hadits juga disebutkan bagaimana “kemaluan” (maaf-red)
adalah sebuah sarana yang bisa berbuah pahala sedekah, jika digunakan
untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri, tetapi bisa juga
berubah menjadi kehinaan dan dosa besar jika untuk berzina dan
perselingkuhan. Nah, dengan demikian “facebook’ sebagai sebuah sarana,
mengikuti ‘teori netralitas’ sebagaimana sarana atau senjata yang
lainnya.
B. MEMAHAMI PENGHARAMANFACEBOOK
Munculnya
fatwa haramnya facebook di Jawa Timur harus disikapi dengan arif. Saat
ini bukan zamannya merasa benar sendiri. Banyak komentar di facebook
yang kadang mencela berlebihan terhadap fatwa tersebut. Tanpa
mengurangi rasa hormat kami kepada yang berkomentar, saya tidak terlalu
yakin bahwa mereka yang berkomentar itu telah mengkaji sungguh-sungguh
tentang hukum facebook dalam Islam. Lebih banyak yang muncul adalah
argumentasi-argumentasi pembelaan yang lebih terasa aura subjektifnya
daripada objektif. Barangkali kita perlu sedikit berlapang dada jika
memang fatwa tersebut muncul dengan prosedur yang benar, yaitu dengan
melihat secara tinjauan dalil syar’I yang dipasangkan dengan realitas
yang ada. Kita juga perlu memahami lebih mendalam tentang ‘hakikat’
sebuah fatwa, sehingga tidak terlalu tergesa-gesa untuk memandang
sebuah fatwa dengan sebelah mata.
Bagi penulis, apa yang tertuang dalam fatwa tersebut sudah selayaknya dipahami dengan melihat dari dua sisi pandang islam.
Pertama : Kaidah Ushul Fikh tentang “ Saddu Ad-Daarooi’ “.
Yaitu
sebuah kaidah yang mengatur dimungkinkannya mengharamkan suatu hal
–yang awalnya halal- untuk mencegah terjadinya sebuah kemaksiatan atau
kerusakan yg lebih besar. Didalam Al-Quran disebutkan beberapa contoh,
diantaranya :
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan “ (QS Al-An’am 108)
Ayat
di atas melarang kaum muslimin untuk mencela sesembahan selain Allah
(nama-nama berhala), bukan karena hal itu adalah terlarang, tapi karena
ditakutkan akan berbuah kerusakan yang lebih besar, yaitu mencaci maki
Allah SWT dengan yang lebih tidak berdasar lagi.
Sebagaimana kita tahu, bahwa proses lahirnya fatwa tersebut juga dari hasil pengamatan pada perilaku santriwati yang terjangkit “facebook addict”
sehingga mengubah konsentrasi mereka dari belajar ke pertemanan yang
lebih luas tanpa batas. Pihak pengasuh juga ‘mungkin’ melihat beberapa
kasus upaya lawan jenis untuk memikat santriwati anak didik mereka.
Jadi dari pijakan inilah, mungkin fatwa tersebut disusun. Yaitu tidak
lebih dari upaya ‘pencegahan’ atas sebuah akibat yang lebih besar lagi.
Barangkali akibat yang dimaksudkan adalah ; menurunnya prestasi santri,
plus pergaulan yang tidak terkontrol lagi, sehingga berakhir dengan
lunturnya nilai-nilai keislaman.
Jika memang upaya sad
daro’I, maka kemunculan fatwa tersebut sebenarnya adalah wajar-wajar
saja. Yang jelas memang, karakteristik dasar sebuah fatwa adalah
‘anjuran dan panduan’, berbeda dengan qodho’ atau keputusan hukum yang
mengikat.
Kedua, Metode Amar makruf dan Nahi Munkar yang disesuaikan dengan ruang lingkupnya
Di
dalam Islam, kewajiban beramar makruf dan nahi munkar diikat dengan
metodologi yang bertahap. Tidak semua orang bisa melakukan dalam setiap
keadaan. Tapi hukum amar makruf nahi munkar ini tetap wajib, jika
memang dipandang mampu untuk melakukannya dan sesuai dengan ‘ruang
lingkup’ pengaruhnya.
Kita masih ingat sebuah hadits shahih yang menyatakan :
”
Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya
dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan lisan, jika tidak mampu maka
dengan hati, maka itu adalah selemah-lemah iman “ (HR Muslim dari Abu Said Al-Khudry)
Nah,
apa yang diupayakan oleh pihak yang mengeluarkan fatwa tersebut, juga
bisa kita pahami sebagai usaha ‘amar makruf nahi munkar’, sesuai dengan
ruang lingkup pengaruh mereka. Kita bisa memahami bahwa yang
mengeluarkan fatwa adalah pihak-pihak yang memang mempunyai otoritas
untuk mengarahkan santri-santrinya dalam bersikap. Karenanya, tidak
menjadi masalah jika mereka menerapkan fatwa tersebut dalam lingkup
terbatas, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu
sebagaimana yang kita bahas sebelumnya. Langkah fatwa ini mirip sopir
bus yang menuliskan di dalam busnya : Dilarang mengeluarkan anggota
badan, atau dilarang merokok “.
Jadi langkah fatwa tersebut,
tidak lebih dari ‘kesuksesan’ meningkatkan tingkatan amar makruf nahi
munkar, dari sekedar ‘mengingkari dalam hati’ menjadi dengan lisan
bahkan dengan tangan atau otoritas. Wallahu a’lam
C. MENJAGA KEHALALAN FACEBOOK
Terakhir,
walau bagaimanapun tetap harus diakui bahwa di dalam aktifitas facebook
menyimpan banyak celah untuk bermaksiat. Terlepas dari status dasarnya
yang halal, mungkin saja disela-sela aktifitas kita dalam mengelola
facebook muncul celah-celah kemaksiatan, yang jika tidak dihindari
justru akan menjerumuskan kita lebih dalam. Ingat pepatah ulama : “
tidak disebut dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus”. Status
dasar facebook memang halal, tapi terkadang itu bisa menipu kita
sehingga mengatakan bahwa semua yang difacebook itu baik dan halal.
Karenanya, tetap saja kita membutuhkan guidence agar tetap berada pada
jalurnya. Agar status kehalalan facebook tidak menjadi luntur karena
aktifitas kita. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan diantaranya
:
diambil dari sini
netral yaitu halal. Pengguna facebook-lah yang kemudian menjadikannya
berubah ‘status’ menjadi haram atau tetap dalam kehalalannya. Halal
ketika digunakan tetap pada koridor kepatuhan syar’I dengan menjaga
adab-adab dan etika pergaulan. Lalu haram ketika facebook digunakan
untuk memperlancar kemaksiatan serta mendalami hal-hal yang sia-sia
tiada guna. Jadi sampai dititik ini, kembali kepada pelakunya.
Ibaratnya kata orang : The man behind the gun.
A. FILOSOFIS KEHALALAN FACEBOOK
Filosofis
status awal kehalalan facebook sendiri bisa kita yakini dari beberapa
dalil syar’I, diantaranya secara sederhana kami sebutkan :
Pertama : Kaidah “ Al-Aslu fil As’sya’ Mubahah “.
Yaitu
asal (hukum) dari segala sesuatu awalanya adalah boleh. Segala sesuatu
dimuka bumi ini, awalnya memang dijadikan sebagai fasilitas bagi
manusia untuk mengelolanya. Karenanya status awalnya memang boleh,
bahkan memang diarahkan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan
dan melacarkan pekerjaannya. Dalam beberapa ayat diisyaratkan hal
tersebut,
antara lain :
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu “ (QS Al-Baqoroh 29)
“Tidakkah
kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. “ (QS Luqman 20)
Kedua : Hukum Asal Muamalah adalah Boleh
Lebih
mendalam lagi , dalam masalah ‘muamalat’ atau segala hal yang tidak
berkaitan dengan ibadah khusus, semacam : jual beli, transaksi, budaya,
politik, maka berlaku kaidah yang menyatakan : “ Asal dari muamalah,
adat (budaya) adalah halal, hingga datang sebuah dalil yang shohih
(kuat) dan shorih (jelas/tegas) dalam pengharamannya” . Hali ini
berbeda dengan tatacara ibadah, dimana kita tidak boleh bereksperimen
dalam ibadah, hingga ada dalil yang jelas mengaturnya. Kaidah ini
termuat secara lugas dalam kitab I’laam Muwaqiinn karya monumental
Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Nah, dalam kaidah ini posisi facebook jelas
masuk dalam kategori “budaya” atau bahasa yang lebih populernya adalah
: life style. Karenanya, jika ada nash-nash syar’I yang menghantam
banyak aktifitas facebook kita, dengan sendirinya status kehalalannya
layak dipertanyakan ulang.
Ketiga : Riwayat yang Shohih tentang netralitas sebuah sarana
Banyak
dijelaskan dalam riwayat shohih tentang netralitas sebuah ‘sarana’ atau
wasilah. Di dalam Al-Quran saja, ketika menyebut tentang harta selalu
mengarah pada statusnya sebagai sarana. Karenanya banyak ayat AL-Quran
yang mencela orang-orang yg gagal menggunakan hartanya untuk kebaikan,
dan sebaliknya ; memuji mereka yang berhasil mengelola hartanya dengan
baik sesuai aturan agama. Jika mau melihat contoh lebih ekstrim lagi,
di dalam sebuah hadits juga disebutkan bagaimana “kemaluan” (maaf-red)
adalah sebuah sarana yang bisa berbuah pahala sedekah, jika digunakan
untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri, tetapi bisa juga
berubah menjadi kehinaan dan dosa besar jika untuk berzina dan
perselingkuhan. Nah, dengan demikian “facebook’ sebagai sebuah sarana,
mengikuti ‘teori netralitas’ sebagaimana sarana atau senjata yang
lainnya.
B. MEMAHAMI PENGHARAMANFACEBOOK
Munculnya
fatwa haramnya facebook di Jawa Timur harus disikapi dengan arif. Saat
ini bukan zamannya merasa benar sendiri. Banyak komentar di facebook
yang kadang mencela berlebihan terhadap fatwa tersebut. Tanpa
mengurangi rasa hormat kami kepada yang berkomentar, saya tidak terlalu
yakin bahwa mereka yang berkomentar itu telah mengkaji sungguh-sungguh
tentang hukum facebook dalam Islam. Lebih banyak yang muncul adalah
argumentasi-argumentasi pembelaan yang lebih terasa aura subjektifnya
daripada objektif. Barangkali kita perlu sedikit berlapang dada jika
memang fatwa tersebut muncul dengan prosedur yang benar, yaitu dengan
melihat secara tinjauan dalil syar’I yang dipasangkan dengan realitas
yang ada. Kita juga perlu memahami lebih mendalam tentang ‘hakikat’
sebuah fatwa, sehingga tidak terlalu tergesa-gesa untuk memandang
sebuah fatwa dengan sebelah mata.
Bagi penulis, apa yang tertuang dalam fatwa tersebut sudah selayaknya dipahami dengan melihat dari dua sisi pandang islam.
Pertama : Kaidah Ushul Fikh tentang “ Saddu Ad-Daarooi’ “.
Yaitu
sebuah kaidah yang mengatur dimungkinkannya mengharamkan suatu hal
–yang awalnya halal- untuk mencegah terjadinya sebuah kemaksiatan atau
kerusakan yg lebih besar. Didalam Al-Quran disebutkan beberapa contoh,
diantaranya :
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan “ (QS Al-An’am 108)
Ayat
di atas melarang kaum muslimin untuk mencela sesembahan selain Allah
(nama-nama berhala), bukan karena hal itu adalah terlarang, tapi karena
ditakutkan akan berbuah kerusakan yang lebih besar, yaitu mencaci maki
Allah SWT dengan yang lebih tidak berdasar lagi.
Sebagaimana kita tahu, bahwa proses lahirnya fatwa tersebut juga dari hasil pengamatan pada perilaku santriwati yang terjangkit “facebook addict”
sehingga mengubah konsentrasi mereka dari belajar ke pertemanan yang
lebih luas tanpa batas. Pihak pengasuh juga ‘mungkin’ melihat beberapa
kasus upaya lawan jenis untuk memikat santriwati anak didik mereka.
Jadi dari pijakan inilah, mungkin fatwa tersebut disusun. Yaitu tidak
lebih dari upaya ‘pencegahan’ atas sebuah akibat yang lebih besar lagi.
Barangkali akibat yang dimaksudkan adalah ; menurunnya prestasi santri,
plus pergaulan yang tidak terkontrol lagi, sehingga berakhir dengan
lunturnya nilai-nilai keislaman.
Jika memang upaya sad
daro’I, maka kemunculan fatwa tersebut sebenarnya adalah wajar-wajar
saja. Yang jelas memang, karakteristik dasar sebuah fatwa adalah
‘anjuran dan panduan’, berbeda dengan qodho’ atau keputusan hukum yang
mengikat.
Kedua, Metode Amar makruf dan Nahi Munkar yang disesuaikan dengan ruang lingkupnya
Di
dalam Islam, kewajiban beramar makruf dan nahi munkar diikat dengan
metodologi yang bertahap. Tidak semua orang bisa melakukan dalam setiap
keadaan. Tapi hukum amar makruf nahi munkar ini tetap wajib, jika
memang dipandang mampu untuk melakukannya dan sesuai dengan ‘ruang
lingkup’ pengaruhnya.
Kita masih ingat sebuah hadits shahih yang menyatakan :
”
Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya
dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan lisan, jika tidak mampu maka
dengan hati, maka itu adalah selemah-lemah iman “ (HR Muslim dari Abu Said Al-Khudry)
Nah,
apa yang diupayakan oleh pihak yang mengeluarkan fatwa tersebut, juga
bisa kita pahami sebagai usaha ‘amar makruf nahi munkar’, sesuai dengan
ruang lingkup pengaruh mereka. Kita bisa memahami bahwa yang
mengeluarkan fatwa adalah pihak-pihak yang memang mempunyai otoritas
untuk mengarahkan santri-santrinya dalam bersikap. Karenanya, tidak
menjadi masalah jika mereka menerapkan fatwa tersebut dalam lingkup
terbatas, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu
sebagaimana yang kita bahas sebelumnya. Langkah fatwa ini mirip sopir
bus yang menuliskan di dalam busnya : Dilarang mengeluarkan anggota
badan, atau dilarang merokok “.
Jadi langkah fatwa tersebut,
tidak lebih dari ‘kesuksesan’ meningkatkan tingkatan amar makruf nahi
munkar, dari sekedar ‘mengingkari dalam hati’ menjadi dengan lisan
bahkan dengan tangan atau otoritas. Wallahu a’lam
C. MENJAGA KEHALALAN FACEBOOK
Terakhir,
walau bagaimanapun tetap harus diakui bahwa di dalam aktifitas facebook
menyimpan banyak celah untuk bermaksiat. Terlepas dari status dasarnya
yang halal, mungkin saja disela-sela aktifitas kita dalam mengelola
facebook muncul celah-celah kemaksiatan, yang jika tidak dihindari
justru akan menjerumuskan kita lebih dalam. Ingat pepatah ulama : “
tidak disebut dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus”. Status
dasar facebook memang halal, tapi terkadang itu bisa menipu kita
sehingga mengatakan bahwa semua yang difacebook itu baik dan halal.
Karenanya, tetap saja kita membutuhkan guidence agar tetap berada pada
jalurnya. Agar status kehalalan facebook tidak menjadi luntur karena
aktifitas kita. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan diantaranya
:
- Tetapkan visi yang baik dalam memulai membuka
sebuah account facebook. Awali dengan niatan-niatan mulia yang tidak
menjauhkan kita dari keridhoan Allah SWT. Seperti niat : berdakwah,
meningkatkan ukhuwah, menambah teman dan jaringan, menambah info dan
pengetahuan, menambah semangat dll. - Pastikan seluruh yang kita
tulis, baik dari profil kita maupun status, note dan comment tidak jauh
melenceng dari visi awal yang kita torehkan. - Tidak ada kata
toleransi untuk kedustaan. Misalnya dusta dalam profil, atau
menceritakan sesuatu yang tidak dialami dalam status. - Tidak mengikuti kuis, event, atau grup yang benar-benar tidak berguna dan hanya menghabiskan waktu saja.
- Menjaga
adab pergaulan antar sesama lawan jenis. Jika memang diperlukan untuk
berkomunikasi, cukup melalui wall post saja yang bersifat terbuka.
Penggunaan message dan chat yang sifatnya pribadi untuk komunikasi
antar lawan jenis sangat tidak dianjurkan bagi mereka yang tidak jelas
visi nya dalam ber-facebook. - Tidak terlalu berlebihan dalam
‘bersilaturahmi’ ke wall teman, message apalagi chat. Karena dalam
islam pun silaturahmi ada adabnya juga. Sebuah hadits menyatakan :
Berkunjunglah jarang-jarang, maka akan bertambah kecintaan (HR Hakim,
Thobroni) . Semua ini dilakukan untuk menjaga agar tidak saling
mengganggu privasi seseorang. - Tidak terlalu bersu’udzhon
dengan message, wall atau chat yang tidak terbalas. Karena Islam juga
menghargai kebebasan dan privasi seseorang, karena bisa jadi memang ada
kesibukan yang tidak tergantikan. Masih ingat sebuah hadits yang
menyatakan, jika mengetuk pintu/salam tiga kali dan tidak ada yang
membukakan, maka sang tamu dianjurkan untuk pulang. - Jika
memang meniatkan untuk berdakwah dalam facebook, maka hendaklah bisa
istiqomah dan menyemangati yang lain untuk juga berdakwah. Juga
menghidupkan budaya nasehat menasehati dalam aktifitas pertemanan di
facebook, karena itu adalah ciri ukhuwah islamiyah. - Tidak terpaku dan terhenti pada iklan-iklan facebook yang mengumbar aurat dan kemaksiatan.
- Penggunaan
facebook hendaknya diefektifkan untuk selaras dengan visi awal. Tidak
selayaknya berlebihan bahkan jika itu melalaikan dari ibadah dan
menurunkan prestasi kerja, maka dengan sendirinya facebook menjadi
musuh berbahaya yang mengancam masa depan kita dunia akhirat.
diambil dari sini