Jumat, 12 Juni 2009

Rebutan pulau berujung perang?

Perseteruan
Indonesia dan Malaysia mengenai Ambalat tak kunjung usai. Sejak 30
tahun lalu hingga hari ini, kedua negara masih belum mendapat jalan
tengah. Kapan masalah ini akan usai? Milik siapa Ambalat sebenarnya?

Beberapa
hari belakangan ini, kasus Ambalat menjadi sorotan publik. Muncul
indikasi bahwa perseteruan itu disebabkan perebutan minyak. Apalagi
kapal perang Malaysia juga pernah masuk ke wilayah yang sama pada 2007.
Upaya pemerintah untuk mengatasi hal ini tak kurang gencarnya.

"Kami
telah mengirimkan nota protes ke Malaysia hingga 35 kali. Terbaru, kami
kirimkan satu lagi pada 4 Juni 2009 kemarin. Pemerintah sudah cukup
tegas dengan hal ini," demikian dituturkan Jubir Deplu Teuku Faizasyah
saat press briefing di Gedung Deplu, Jakarta, Jumat (5/6).


Sengketa
batas wilayah kelautan Indonesia dan Malaysia bermula sejak 1967,
ketika kedua negara pertama kalinya melakukan pertemuan teknis hukum
laut. Mereka akhirnya menandatangani Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia. Ratifikasi perjanjian itu dilakukan pada 7 November
1969.

Tak lama berselang, Malaysia membuat peta baru yang
memasukkan Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Pembuatan peta secara
sepihak itu membingungkan Indonesia dan Singapura, yang sepakat tidak
mengakuinya. Namun negeri Jiran ini kembali membandel.

Pada 1979
pihak Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas
kontinental dan maritim. Mereka bahkan menyatakan diri sebagai negara
kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritim sendiri.

Tindakan
ini menjadi kelewatan saat Malaysia memasukan blok Ambalat ke dalam
wilayahnya, dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati pulau
Sebatik.

"Kali ini bukan hanya Indonesia saja yang mengajukan
protes. Namun juga beberapa negara tetangga lain seperti Flipina,
Thailand, dan bahkan Taiwan. Malaysia sendiri juga mengajukan protes
meski kami telah tegaskan berulangkali bahwa peta unilateral mereka
tidak valid," lanjut Faiz.

Sementara Wapres Jusuf Kalla cukup
tegas mengenai kasus Ambalat ini. Ia menegaskan jika Malaysia sengaja
melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia, maka TNI agar tidak
ragu-ragu dalam melakukan tindakan.

"Itu akan ditindak tegas
kalau memang ada pelanggaran. Kita akan tindak tegas," kata JK seusai
peringatan hari lahir Pancasila di TMII, Jakarta, awal pekan ini.
Ketika ditanya apakah Indonesia siap berperang? JK menegaskan, jika
Indonesia sudah terganggu, dengan siapa saja RI bisa berperang.

"Kita
negara, sudah terganggu. Dengan siapa saja kita bisa perang. Kalau
pemerintah Malaysia dengan kita cukup baik, kita lihat nanti
pelanggaran yang terjadi," jawab JK. Menurut dia, dirinya akan mengecek
ke TNI sejauh mana pelanggaran yang terjadi.

Meski demikian,
Faiz menegaskan pemerintah akan menuntaskan kasus ini sesuai dengan
prosedur yang berlaku. "Kami akan mengadakan diskusi yang ke-14 dengan
Malaysia, tapi masih menunggu restrukturisasi tim perundingan mereka,"
ungkapnya.

Konsep negara kepulauan yang dimiliki Indonesia,
sebetulnya memiliki kekuatan secara faktual dan yuridis di mata dunia.
Hal ini ditegaskan melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 yang
mengakui adanya status negara kepulauan dalam hukum laut.

Konvensi
tersebut secara jelas mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap
wilayah laut, serta tata cara penarikan garis batas maritim jika
terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga,
baik yang bersebelahan maupun yang berseberangan.

Sudah jelas
Blok Ambalat merupakan bagian dari wilayah perairan Indonesia, jika
dilihat dari titik-titik garis batas maritim. Pemerintah Malaysia
merasa berhak atas wilayah eksplorasi minyak di daerah tersebut paska
sengketa Sipadan dan Ligitan pada 2002 lalu.

Cara pengukuran
perairan yang dimiliki oleh Malaysia seharusnya dilakukan dari Daratan
Sabah, bukan dari pulau terluar karena mereka bukanlah negara
kepulauan. Seharusnya pemerintah Indonesia menyadari bahwa kehilangan
pulau terluar dapat menyebabkan berkurangnya wilayah perairan dan luas
negara.

Ada baiknya pulau terluar dan titik-titik batas
Indonesia didaftarkan kepada PBB untuk menghindari sengketa dengan
negara tetangga di wilayah perbatasan. Sebab hilangnya sebuah pulau
dapat melukai moral, ekonomi, dan hukum negara. Belum jelas kelanjutkan
sengketa ini apakah berakhir di pengadilan atau diselesaikan di medan
perang.

diambil dari sini